Pemilu Myanmar yang digelar akhir Desember 2025–Januari 2026, sebagai pemilu pertama sejak kudeta militer 2021, menuai kritik keras dari kelompok HAM, oposisi, dan komunitas internasional karena dinilai tidak bebas, tidak adil, dan hanya memperkuat kontrol junta militer ketimbang memulihkan demokrasi.
1. Latar Belakang: Kudeta dan Pemilu yang Dipaksakan
Myanmar akan mengadakan pemilihan umum pertamanya dalam lima tahun pada Desember 2025 hingga Januari 2026, yang dibagi dalam tiga fase pemungutan suara dimulai pada 28 Desember 2025, lalu 11 Januari dan fase selanjutnya 25 Januari 2026. Ini merupakan pemilu pertama sejak kudeta militer 1 Februari 2021 yang menggulingkan pemerintahan terpilih Aung San Suu Kyi dan partainya, National League for Democracy (NLD). WBOC TV+1
Junta militer, yang sekarang dipimpin oleh Senior Jenderal Min Aung Hlaing, mengklaim pemilu ini sebagai jalan menuju pemerintahan sipil dan demokrasi multi‑partai, tetapi banyak pihak skeptis terhadap klaim tersebut. Reuters
2. Kritik Utama: Tidak Bebas, Tidak Adil, Tidak Inklusif
A. Lingkungan Politik yang Repressif
Kelompok HAM internasional seperti Human Rights Watch mengatakan pemilu ini kemungkinan besar tidak akan bebas atau adil. Junta telah secara sistematis menutup ruang demokrasi sejak kudeta, termasuk menahan puluhan ribu tahanan politik dan menghambat kebebasan sipil. Human Rights Watch
Lebih jauh lagi, junta memberlakukan undang‑undang yang mengkriminalisasi kritik terhadap proses pemilu dengan hukuman berat, hingga ancaman hukuman mati bagi yang dianggap mengganggu jalannya pemilu. Human Rights Watch
B. Partai Oposisi Dilarang dan NLD Dibubarkan
Partai NLD, yang memenangkan pemilu 2020 secara telak, telah dibubarkan oleh junta. Banyak partai oposisi lainnya juga dibatasi atau dipaksa keluar dari proses politik karena aturan pendaftaran yang diskriminatif. Human Rights Watch+1
Analis politik mengatakan bahwa pemilu ini dijalankan oleh tentara yang sama yang melakukan kudeta, sehingga tidak ada jaminan transisi real ke pemerintahan sipil. WBOC TV
C. Bukan Seluruh Wilayah yang Bisa Memilih
Pemungutan suara diperkirakan hanya akan berlangsung di sebagian wilayah negara karena konflik sipil yang sedang berlangsung. Banyak distrik yang masih direbut oleh kelompok oposisi bersenjata atau terlalu tidak stabil untuk menyelenggarakan pemungutan suara. Reuters
3. Situasi Kemanusiaan dan Keamanan yang Memburuk
Kritik terhadap pemilu ini juga tidak lepas dari konteks perang saudara yang sedang berlangsung. Sejak kudeta, Myanmar telah mengalami konflik bersenjata yang meluas antara militer, gabungan pasukan oposisi, serta kelompok etnis bersenjata lain, dengan dampak:
-
Lebih dari 22.000 tahanan politik, termasuk aktivis, tokoh pro‑demokrasi dan kritikus rezim. WBOC TV
-
Lebih dari 7.600 warga sipil tewas sejak 2021, menurut kelompok pemantau independen. WBOC TV
-
Lebih dari 3,6 juta orang mengungsi internal akibat konflik. WBOC TV
Situasi kekerasan dan intimidasi ini membuat banyak kelompok hak asasi manusia dan PBB menyatakan kekhawatiran bahwa pemilu akan memperkuat kekuasaan militer, bukan meredakan konflik. WBOC TV
4. Reaksi Internasional
Pemerhati internasional sebagian besar melihat pemilu ini sebagai upaya junta untuk mendapatkan legitimasi internasional dan memperkuat cengkeraman kekuasaan mereka, bukan sebagai langkah menuju demokrasi nyata. Human Rights Watch
Beberapa negara Barat dan lembaga internasional secara tegas mengkritik dan menolak legitimasi pemilu ini, sementara dukungan lebih terlihat dari negara‑negara seperti China dan Rusia, yang menilai pemilu sebagai bagian dari stabilisasi. Human Rights Watch
ASEAN sendiri mendesak inklusivitas dan dialog politik, tetapi belum ada konsensus regional tentang pengakuan atau dukungan formal atas proses pemilu tersebut. Human Rights Watch
5. Dampak Politik Jangka Panjang
Pengamat politik memperkirakan bahwa pemilu ini kemungkinan besar tidak akan menyelesaikan konflik internal Myanmar. Sebaliknya, dengan dominasi partai yang pro‑militer seperti Union Solidarity and Development Party (USDP) dan masih kuatnya peran militer dalam struktur pemerintahan, pemilu bisa menjadi alat untuk memperkuat kontrol militer dengan penampilan sipil semu (civilian veneer). WBOC TV
Kesimpulan: Kritik yang Terus Menguat
Pemilu Myanmar pertama dalam lima tahun ini dipandang oleh banyak pihak bukan sebagai pemulihan demokrasi, melainkan sebagai strategi rezim militer untuk menjustifikasi kekuasaannya di tingkat domestik dan internasional. Rezim terus membatasi kebebasan politik, menahan kritik, membubarkan partai oposisi, serta melanjutkan tindakan keras terhadap warga sipil dan kelompok pro‑demokrasi, sehingga melahirkan skeptisisme luas tentang kredibilitas dan masa depan politik Myanmar. Human Rights Watch